Catatan ini bermula dari empat hari sebelum Natal tiba. Aku kembali ke kotaku tercinta: Sendawar. Gemerlap lampu kota dan hiruk pikuk kendaraan menyambut kedatanganku. Aku gembira, bila kusederhanakan kata bahagia. Betapa tidak, sebentar lagi aku akan bertemu keluargaku setelah lima minggu lebih aku menghilang. Aku akan menghirup lagi aroma santainya hidup setelah sekian waktu bekerja dengan berbagai deadline dan kompleksitas pekerjaan bahkan ketidakjelasan yang tercampur aduk.
Malam Natal pun tiba. Aku berangkat ke gereja 30 menit sebelum mulai misa. Dan, aku bersyukur melihat antusiasme seluruh umat untuk mengikuti perayaan natal ini karena setibanya di halaman gereja aku melihat ratusan umat berdiri di halaman (tidak mendapatkan jatah kursi). Syukurlah, tuhan pasti memberkati kota ini karena ini kuyakini natal dengan umat terbanyak sejak aku kecil.Dengan SABAR aku mengikuti misa sambil berdiri.
Natal kali ini diikuti dengan final Piala AFF antara timnas Indonesia vs Timnas Malaysia, dua negara yang kita tahu mengaku serumpun namun jarang rukun. Suasana emosional sangat kental terasa, apalagi kalo kita bermain2 surfing di dunia maya, internet. Tanggal 26 malam yang ditunggu pun tiba, timnas Garuda didadaku harus pulang dengan kepala tertunduk. Aku, orang yang sering memandang remeh timnas negara sendiri-namun sesungguhnya tak bisa memungkiri bahwa hatiku tetap mendukung timnas Indonesia, sebenarnya tak sabar namun menyabarkan diri untuk menunggu final leg kedua di GBK. Dan tiga hari kemudian, apa yang kutunggu akhirnya tiba. Final leg kedua dimulai. Kekecewaanku juga dimulai; hingga akhir babak pertama timnas Indonesia tak mampu berbuat banyak. Namun ini semua bukan hal yang ingin kucatat.
Yang sungguh menggangguku adalah tepat sebelum babak pertama berakhir aku mendengar suara angin. Rintik hujan juga mulai jatuh satu-satu. Kenapa angin dan rintik hujan mengusik hatiku? Byarr pet, PLN mati. Aku sudah menduganya. Entah kenapa PLN di kota ini seperti kambing? Maaf, maksudku: sangat takut dengan hujan. Kalo hujan turun, hampir bisa dipastikan PLN akan mati.Maka kekecewaan akan timnas Indonesia pun berganti dengan kekecewaan akan PLN. Tetapi aku harus tetap SABAR. Ah, tidak mengapa, masih ada genset tua yang kusimpan. Aku kembali menonton final AFF bersama banyak teman2 yang datang setelah lampu mati. Jadi mati lampu kali ini kusyukuri, karena akhirnya aku bisa nonton bareng dan membagi rasa kecewa akan timnas dengan banyak orang, heheheeee.
Bangun pagi, aku pengen cepat-cepat mandi. Biar bisa membersihkan rasa kecewa karena Indonesia kembali hanya bisa jadi runner up. Namun sekali lagi aku harus kecewa, air PDAM pun nggak ngalir. Untunglah masih ada sedikit sisa air yang kutampung dua hari yang lalu, jadi meski wajah cemberut, aku masih bisa mandi. Dan aku harus SABAR menunggu air PDAM mengalir lagi untuk ditampung, biasa, persiapan beberapa hari ke depan.
Mungkin kota ini masih sangat tergantung pada kehendak tuhan, bila Tuhan menurunkan hujan maka PLN mati, bila tuhan memberikan kemarau maka PDAM yang mati.
Tanpa kusadari bahan bakar kendaraan tuaku udah tinggal sedikit, padahal hari ini aku berniat mengunjungi kedua orangtuaku, sekedar say hello dan menengok mereka. Jadi aku pergi ke ATM mencari tahu apakah masih ada sisa duitku buat beli bensin. Aku singgah di ATM BRI di depan Polres Kubar, ATM yang kalo nggak salah baru ada 2 atau 3 bulan yang lalu. Setelah antri cukup lama aku hanya mendapatkan kenyataan bahwa mesin ATM ini tidak dapat dipake untuk menarik uang cash; hanya bisa dipake transfer. Ah, ATM konyol, setahuku ATM adalah automatic teller machine, bukan automatic transfer machine. Biarlah, aku akan ke ATM Bankaltim. Sesampainya di sana aku masuk dalam antrian, mungkin urutan ke duapuluh sekian.Ada sesuatu yang menarik perhatianku, seorang ibu-ibu muda berpakaian dinas, entah dinas apa, berkacamata hitam dan bersepatu hak tinggi, dengan angkuhnya masuk ke bilik ATM tanpa melalui antrian. Teman yang mengantri di urutan terdepan, yang seharusnya dapat giliran hanya tersenyum menengok ke belakang dan berkata dalam bahasa daerah, "beaaw tauq ko sukar, ulutn besape dinas, takaaq masam ohooq, ya mesti SABAR". Yang lain pada ketawa, aku juga ketawa, meskipun dalam hatiku berkata "f**k you, don't jump the queue". Setelah giliranku mendekat, ternyata mesin ATMnya bermasalah. Bubarlah antrian, namun tetap diiringi dengan tawa orang-orang SABAR.
Akupun berangkat ke arah Busur, melewati pertigaan terminal taxi Samarinda menuju SPBU besar di Simpang Raya, "bensin habis" tertulis mantap di pintu gerbangnya. Aku terus ke Mencimai, ke Ngenyan, Ke Manapun; yang kudapat hanyalah tulisan-tulisan bernada sama. SABARlah kata hatiku, dengan terpaksa aku mengisi kendaraanku di SPBU eceran yang harganya udah dinaikkan 55,556% dibanding harga di SPBU beneran.
Aku tersenyum, keSABARan ku selalu tersedia untuk kota ini. KeSABARan untuk berkendaraan dengan perlahan melewati lubang-lubang jalanan. KeSABARan untuk mendapatkan giliran antri di mesin ATM yang lebih banyak ngadatnya ketimbang baiknya. KeSABARan untuk segala sesuatu. Kota ini kotaku, dan kota ini adalah kotanya orang-orang SABAR.
myhome, 110103 06:00pm